“Benteng Kuta Lubok memegang peranan penting sebagai benteng pertahanan sekaligus bandar perdagangan yang mengamakan rute maritim di wilayah pantai Aceh Besar. Benteng ini menjadi armada Angkatan laut Kerajaan Aceh yang setiap saat bisa menjaga keamanan laut dan garis pantainya dari gangguan keamanan. Sebelum berdirinya Benteng Kuta Lubok, lokasi ini telah menjadi permukiman besar yang aktif bidang perdagangan dibawah naungan Kerajaan Lamuri”
I. PENGANTAR
Benteng Kuta Lubuk secara administratif berada di Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Secara Geografis terletak pada koordinat N 05°36’34.5” E 95°32’11.1”. Benteng ini berada di lingkungan savana tropis yang dekat dengan laut dan berada kurang lebih 50 meter dari tepi pantai. Menempati lahan seluas 5230 m², dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan pantai, sebelah selatan berbatasan dengan perbukitan, sebelah timur berbatasan dengan pantai, sebelah barat berbatasan dengan semak belukar. Kondisi saat ini terawat. Status kepemilikan tanah ini milik negara, saat ini situs Benteng Kota Lubuk dikelola oleh BPCB Aceh.
Bangunan Benteng berdenah persegi panjang berukuran 94 meter x 31,50 meter. Tinggi dinding benteng berukuran 3,5 meter dengan ketebalan 2 meter. Struktur bangunan yang ada saat ini berbentuk letter L, yang membujur dari arah tenggara ke arah barat laut. Dinding benteng yang dapat diamati adalah dinding benteng sisi timur, dan sisi barat daya. Kontruksi bangunan tersusun dari batu bulat dengan ukuran batu yang bervariasi antara berangkal hingga bongkah (15 – 35 cm). Pemasangan batu secara teknis disusun satu persatu secara horisontal dengan sistem perekat menggunakan pola susun acak. Pada beberapa bagian terlihat dinding benteng yang diplester.
Bangunan Benteng berdenah persegi panjang berukuran 94 meter x 31,50 meter. Tinggi dinding benteng berukuran 3,5 meter dengan ketebalan 2 meter. Struktur bangunan yang ada saat ini berbentuk letter L, yang membujur dari arah tenggara ke arah barat laut. Dinding benteng yang dapat diamati adalah dinding benteng sisi timur, dan sisi barat daya. Kontruksi bangunan tersusun dari batu bulat dengan ukuran batu yang bervariasi antara berangkal hingga bongkah (15 – 35 cm). Pemasangan batu secara teknis disusun satu persatu secara horisontal dengan sistem perekat menggunakan pola susun acak. Pada beberapa bagian terlihat dinding benteng yang diplester.
Pada bagian sudut timur dan utara benteng masing-masing terdapat sebuah bastion berbentuk letter O yang dibuat menjorok keluar ke arah laut. Diameter bagian dalam bastion ini berukuran 8 meter. Kedua bastion terlihat sudah mengalami kerusakan. Selain dinding benteng yang dilengkapi dengan bentuk bastion, saat ini tidak dijumpai bangunan lain.
Struktur utama dinding benteng yang masih dijumpai saat ini berbentuk 2 buah undak dengan ketebalan 1 meter. Undak pertama merupakan dinding benteng bagian dalam, bagian atas undak pertama berbentuk selasar selebar 1 meter yang berfungsi untuk kemudahan bergerak orang di atas dinding benteng. Dinding benteng undak kedua memiliki ketebalan 1 meter dengan tinggi 3,50 meter dari permukaan tanah bagian luar benteng saat ini.
II. LATAR SEJARAH BENTENG KUTA LUBOK
Menurut Frederic de Houtman (tawanan Aceh berkebangsaan Belanda) mengatakan pembuat benteng Kuta Lubok bernama Peep (Portugis) di tahun 1600, ia meminta kepada Sultan Aceh saat itu menggunakan benteng lama Kuta Lubok yang lama dengan imbalan Portugis membantu Aceh mengalahkan Johor. Tetapi saat itu Sultan Aceh meminta agar Portugis menyerahkan Johor terlebih dahulu. Kemungkinan besar antara tahun 1600-1604 M, dipercaya Peep mendirikan benteng Kuta Lubok di atas benteng yang lama. Tahun 1606, Portugis memutuskan menyerang Aceh dibawah pimpinan De Castro karena pertimbangan terjadi kemelut internal di Kesultanan Aceh antara Sultan Ali Ri Ayat Syah yang baru dengan cucu Sultan Alauddin Ri Ayat Syah Syahid Al Mukammal yang bernama Iskandar Muda.
Serangan Portugis berhasil mengalahkan pertahanan Kerajaan Aceh di Kuta Lubok dan merebut benteng Kuta Lubok saat itu. Tidak lama setelah dikuasai Portugis, beberapa bulan kemudian, Sultan Aceh mengirim Perkasa Alam Iskandar Muda merebut benteng itu kembali dan menghancurkan kekuatan militer serta mengusir pasukan Portugis keluar dari wilayah Aceh.
III. JEJAK JALUR REMPAH BENTENG KUTA LUBOK
Benteng Kuta Lubok memegang peranan penting sebagai benteng pertahanan sekaligus bandar perdagangan yang mengamakan rute maritim di wilayah pantai Aceh Besar. Benteng ini menjadi armada Angkatan laut Kerajaan Aceh yang setiap saat bisa menjaga keamanan laut dan garis pantainya dari gangguan keamanan.
Sebelum berdirinya Benteng Kuta Lubok, lokasi ini telah menjadi permukiman besar yang aktif bidang perdagangan dibawah naungan Kerajaan Lamuri.
Kerajaan ini dipercaya sebagai salah satu kerajaan awal di Nusantara yang eksis jauh sebelum kesultanan-kesultanan Islam lokal di nusantara terbentuk dan mengembangkan peran, pengaruh dan integrasinya dengan kebudayaan tempatan. Di lain sisi, Kesultanan Lamuri menjadi saksi kontak dagang (jalur rempah) hingga level relasi kenegaraan antara kerajaan-kerajaan yang ada, Asia Selatan, Asia Timur, Asia tengah, Asia Tenggara dan daratan Asia Tenggara. Juga, kerajaan ini menjadi saksi akan kehadiran, tumbuh dan berkembangnya ajaran Hinduisme, Budhisme, Kristen dan Islam di Nusantara pada masa abad pertengahan. Karena itu, mengingat kekayaan historis dan arkeologis, kawasan bekas Kesultanan Lamuri yang salah satunya berada di Gampong Lamuri, Aceh Besar, Provinsi Aceh, perlu mendapatkan sentuhan pengembangan, sebagai pusat laboratorium arkeologi-sejarah periode Hinduisme, Budhisme, Kristen dan Islam yang berkembang pada abad VII-XVI Masehi.
Kontak tersebut di atas menyebabkan pelafalan atas negeri ini jadi berbeda-beda, sesuai nama dialek atau bahasa dari negeri masing-masing. Misalnya, penyebutan Ramni sebagai penyebutan dalam bahasa Arab (Abu Zaid Hasan, 916). Kemudian penyebutan Lambri dalam bahasa Spanyol (Marco Polo, 1292), Lamori dalam penyebutan bahasa Portugis (Odoric de ordenone, 1323), Lamuri dalam penyebutan bahasa Majapahit (Prapanca, Nagarakertagama, 1365), Lam-po-li atau Lam wu li dalam penyebutan bahasa Cina (Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, 1416), Ilamuridecam (Sriwijaya) dan et Lambry sebagai penyebutan Portugis (Tome Pires, Suma Oriental, 1512).
Referensi
Northern Tip Of Aceh.
Suwedi Montana, 1995. Nouvelles données sur les royaumes de Lamuri et Barat. In: Archipel, volume 53, 1997. pp. 85-95.
——————, 1996/1997. Pandangan Lain Tentang Letak Lamuri Dan Barat (Batu Nisan Abad Ke VII – VIII Hijriyah di Lamuri dan Lamno, Aceh), dalam Kebudayaan No 12 th VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hal. 83–93.
Repelita Wahyu Oetomo, 2008. Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai. Balai Arkeologi Medan.
Ambo Asse Ajis, 2016. Jejak Jalur Rempah Di Aceh: Sebuah Studi Awal. Jurnal Arabes Nomor 2 Edisi XIV Juli-Desember 206. Banda Aceh
Tim FKIP Unsyiah, dkk, 2016. Laporan Zonasi Kawasan Cagar Budaya Lamuri Tahun 2016. FKIP Unsyiah Press. Banda Aceh.